Saturday, August 31, 2019

Kepala-Kepala Dingin
Kepala Dingin

Tepat di sudut sebuah kafe. Aku fokus memanjangkan bengongku, meraba-raba sesuatu yang aku sendiri pun tak terlalu yakin dengan apa yang sedang mengusik anganku. Masih dalam keadaan tangan yang tengah erat menggenggam lengan cangkir. Terisi penuh oleh latte. Mataku terpaku pada sebuah jalanan.

Tampak begitu riuh lalu lalang kendaraan di balik kaca yang begitu jernih, sebab ia terawat. Ditemani lantunan musik jazz, telingaku masih menangkapnya walau hanya sekilas tangkap. Seolah hanya terdengar seperti mesin pengeras suara yang sibuk menggerutu.


Pengunjung masih ramai seperti biasanya, namun bukan itu yang jadi pusat perhatian bagiku. Yang kutahu kini ku sedang menunggu pacarku, tak sabar ingin berbagi sepucuk kabar bahagia atas promosi yang kudapat dari tempatku bekerja. Dengan demikian usai sudah segala penantian. Tak ayal lagi, secepat mungkin kuhalalkan relasi yang sudah sekian lama terbentuk pada kami.


Namun seperti halnya pepatah. Begitu kerap sekali menjadi buah bibir oleh lisan khalayak ramai. Bahwa tak satu kepalapun akan tahu seberapa lama kita dapat mengembuskan napas, menikmati partikel oksigen hingga maut tiba diwahyukan. Namun janji telah terlafal, tak sadar bila begitu mudahnya maut jika sekedar untuk mematahkan sebuah janji. Tak seorang pun pernah mendambakan datangnya sebuah kematian, hanya saja pada satu titik kita sadar jika itu memanglah sudah ditakdirkan.


Barangkali sudah jadi kebiasaanku bila mampir ke kafe itu menjelang petang di penghujung minggu. Menikmati sajian libur dengan suguhan latte sembari menjadi saksi bisu atas datang dan perginya sepotong senja. Melepas segala penat setelah seharian penuh beraktivitas membereskan rumah dan segala yang berkaitan dengan kebersihan. Sebab aku hanyalah seorang pegawai kantor, maka sudah selayaknya tiada waktu yang tepat selain hari libur untuk bergelut dengan pakaian dan sekitaran rumah yang kotor. Sebuah ritus tersendiri bagiku melepas penat di kafe itu pada akhir pekan.


Selebihnya waktuku lesap di telan dinding kantor. Berangkat pagi, pulang gelap hari. Menghabiskan kala seharian penuh di atas kursi. Menghadap monitor laknat yang bahkan radiasi sinarnya tak segan lagi membutakan mataku. Selepas petang, aku biasanya menemani klien ataupun rekan bisnis untuk menemaninya minum-minum atau mengobrol santai demi mempererat hubungan kerjasama. Ya begitulah agendaku selama sepekan penuh tanpa ada senggang sedikitpun, kecuali tanggal merah. Pulang ketika malam benar-benar sudah mencapai puncak temaramnya, disambut pekik kucing jahanam milik tetangga yang tiap malamnya sibuk bertikai. Tiada bosan mereka memperebutkan sepotong ikan asin, demi bertahan hidup untuk menyongsong hari esok.


Setelah masuk rumah yang kutahu segera membuat kopi, menyulut sebatang sigaret, mengerjakan tugas untuk esok. Seusai itu yang kutahu segera merebahkan badan. Mengistirahatkan mata dan pikiran. Tentu sangat membosankan bukan?.

Lalu akhir pekan ini aku kembali berziarah, ke kafe tempat biasa ku menyemayamkan renung. Menatap nanar kepergian senja. Hanya saja kedatanganku kali ini tak sendiri. Ditemani oleh Darto, tetanggaku. Rumah kami dipisah dengan satu rumah tetangga lainnya yang berdiri tegak, tepat di sebelah kanan rumahku, ya rumah Dito. Tak biasanya aku dan Darto menghabiskan waktu bersama untuk sekedar bercakap, ya kau tahu sendirilah betapa sibuknya kehidupan kota. Bahkan tak aneh lagi, bila kau tak tahu barang satu huruf pun inisial tetangga kanan kirimu sendiri.

Darto merupakan seorang penulis. Setiap buah pikiran yang berhasil ia tuangkan dalam tintanya, ia berhasil menerbitkan sebuah buku yang tak pernah telat mencapai penjualan tertinggi. Meski baru seminggu karyanya diluncurkan. Semua itu tak lepas dari teknik mengarangnya. Menekankan arti penting dari sebuah observasi dan pemilihan diksi untuk memperoleh ruh yang benar-benar tiada cacat sedikitpun demi ditiupkan ke dalam karya agungnya.

Kehadirannya menemani kesendirianku untuk bersama menikmati sajian jingga warna senja. Rona warnanya sanggup membuat setiap mata yang memandangnya lekas terpana. Tak hanya sekedar itu saja, kami menikmati secangkir latte sembari bercakap ringan tentang pekerjaan satu sama lain. Walau titik fokus obrolan kami sebenarnya mewawancaraiku untuk memenuhi tugas observasi untuk sebuah karya yang sesegera mungkin akan ia garap. Demi memenuhi hasrat pembaca budiman setiap sastra hebat yang diterbitkannya. Untuk kali ini ia menghadirkan sebuah novel yang tokoh utama yang di dalam ceritanya memiliki pekerjaan sebagai seorang pegawai di sebuah kantor.

Aku sangat berharap ia mampu menerbitkan karya yang mengangkat secara tuntas betapa buruknya lingkungan kerja di sebuah perusahaan. Dimana kau menemukan berbagai jenis manusia penjilat demi mendapatkan jabatan dan tingginya tingkat persaingan untuk menjatuhkan sesama rekan demi jadi seorang andalan dimata para atasan.

Setelah observasinya dirasa cukup, Darto membuka sebuah pernyataan yang telak membuatku merasa penasaran. "Sal, apakah kau tak dengar suara cangkul bertubi-tubi menghantam tanah semalam?, Aku sebenarnya tidak terlalu yakin dari mana suara itu berasal tapi yang pasti suara itu terdengar tepat jam dua malam. Semalam aku sulit tidur jadi dari pada membelalakkan mata tanpa tujuan, setidaknya aku menulis saja. toh semalam inspirasi datang menghampiriku", "suara itu perlahan mengganggu konsentrasiku. Aku heran sebenarnya orang waras mana yang sempat-sempatnya mencangkul di saat manusia lainnya sedang terlelap dalam mimpi," imbuhnya.

Sejenak ku berpikir, sebelum menjawab sebuah pertanyaan pelik itu. "Entahlah Dar, semalam aku terlalu lelah dengan pekerjaanku. Mana sempat aku melek di malam buta seperti itu. Barangkali berkebun sepertiga malam sedang trend Dar saat ini,", "berkebun apanya sal, mana ada kau lihat sebatang pun tanaman yang tertancap di pekarangan rumah si Dito. Aku sebenarnya juga ragu dari mana suara itu berasal. Namun setelah kuperhatikan lagi, itu berasal dari rumah Dito", "entahlah Dar, barangkali ia punya kegiatan tersendiri ketika sulit tidur sepertimu" balasku, sebagai penghujung percakapan. Karena saking sibuknya kami bicara tanpa sadar senja terbenam, kembali ia ke peraduannya.

Aku pulang dengan keadan kepala dipenuhi oleh rasa penasaran. Apakah benar Dito yang mencangkul tak jelas di kala malam hampir berevolusi menjadi pagi?. Sejauh yang kutahu, Dito orang yang terbilang sukses, punya belasan cabang kafe dan makanan ringan yang sedang hits akhir-akhir ini. Dan salah satu dari sekian kafe yang ia miliki adalah kafe yang tak pernah luput ku tongkrongi setiap hari minggu ini. Hampir nihil rasanya bila ia bisa memegang cangkul.

Pada suatu malam sengaja ku buat mata tetap terjaga, demi mencari sebuah jawaban atas rasa penasaranku. Tak terasa sudah empat malam minggu terlewatkan namun tak ku temukan suara hantam cangkul membelah keheningan malam. Hanya bising simfoni jangkrik yang tertangkap telingaku. Apakah Darto hanya salah dengar, pikirku. Sudah cukup pusing aku dengan setumpuk pekerjaan dan kini kutambah dengan kegiatan mengintai tetangga yang makin dirasa sedikitpun tak bermanfaat.

Aku mulai terlelap. Namun, perlahan dentum suara cangkul beradu dengan tanah mengusik telingaku. Dalam keadaan setengah terkejut, sontak ku membelalakkan mata sembari berbisik dalam batin "inilah yang kutunggu-tunggu". Segera ku menuju ke lantai dua. Sorot mataku masih sedikit buram. Sebab sempat tertidur pula aku. Fokus tertuju pada pekarangan rumah Dito. Bola mataku tak henti-hentinya bergerak kesana-kemari memburu pandang. Namun alangkah terkejutnya aku, ketika mendapati Dito sedang sibuk mencangkul tanah dan beberapa meter dari tubuhnya terdapat sebuah bungkusan berukuran sebesar tubuh manusia.

Mungkinkah bila itu manusia. Lalu tiba-tiba mata Dito tertuju ke tempat ku berada. Sepertinya pantulan sinar lampu rumahnya yang mengenai sebuah jam tangan yang kupakai bersarang tepat di matanya. Membuatnya sadar sedang di awasi seseorang.

Ah, matilah aku, gumamku. Sebab tentulah ia tahu aku memata-matai dirinya. Padahal belum tuntas aku mengetahui isi dari sebuah bungkusan karung goni yang melonjor sepanjang tubuh manusia. Otakku kini hanya bisa menebak-nebak, hal apa yang bisa menjadikannya sebagai seorang pembunuh. Apakah ia benar-benar seorang pembunuh. Jika memang dia bukan pembunuh lalu apa isi dari karung goni sepanjang tubuh manusia yang kulihat itu.

Saat petang di penghujung minggu aku kembali mengajak Darto. Kemana lagi jika bukan ke kafe andalanku itu. Yang ku tahu pasti aku ingin membenarkan perkataannya. Sekalian memberi imbuhan atas apa yang Darto ceritakan bulan lalu. Perihal sang pencangkul di malam buta. Sembari menikmati latte kubuka percakapan, "kau benar Dar, perihal orang yang mencangkul di malam buta itu", "sesuai dugaanku" celetuk Darto. "Aku juga ada cerita yang lebih menarik lagi sal" imbuh Darto. "Aku dengar dari istriku sendiri, aku sempat tercengang juga", "perihal apalagi, Dar?", Tanyaku seperti ibu rumah tangga yang lihai meng-ghibah. "Kau tahu mantan istrinya Dito bukan?, si Aisyah", "oh, ya Aisyah. Cantik betul ia Dar, nyaris aku jatuh hati dengannya. Tapi setelah kupikir alangkah tak rasionalnya aku suka dengan istri tetangga" ungkapku. "Kemana perginya dia ya, sal?", "entahlah, dulu si Dito pernah cerita juga perihal mantan istrinya", "kau sering tahu kan, bila Aisyah sering pulang dengan lelaki lain, Dar?", "Ya, hanya beberapa kali. Itupun saat aku sedang ingin menghirup udara segar, saat jenuh ketika menulis", "Dito bilang padaku pada satu kesempatan ia pernah memergoki istrinya sedang bersenggama dengan lelaki asing, di kamarnya pula", "setelah kejadian itu akhirnya ia memutuskan untuk menceraikan istrinya, ia kembalikan kepada orang tuanya".

Kami terdiam sejenak, kulihat Darto menunjukkan raut sedang berpikir keras. Seolah dia sedang membongkar sebuah ingatan yang telah tertimbun. "Ah, iya sal. Aku baru ingat", "istriku lumayan akrab juga dengan si Aisyah, dia pernah terlibat perbincangan dengan Aisyah, bila si Dito itu impoten", "serius kau Dar?" Tanyaku spontan. Lalu ku berpikir sejenak, "barangkali benar Dar, makanya Aisyah sering membawa pulang lelaki lain", "maka dari itu Sal. Walaupun Dito itu koceh harta apalah daya bila ia tak bisa memenuhi kebutuhan biologis istrinya". "Nyatanya tak ada satupun manusia terlahir sempurna" timpal Darto. Lalu senja sembunyi lagi tanpa sepengetahuanku. Pertanda waktu berbincang telah usai.

Pikiranku kini kacau. Hendak tidur pun rasanya jadi sukar. Masih mencoba mencerna kisah yang begitu rumit untuk kupahami. Sampai pada titik di mana aku merasa tak seharusnya ingin tahu menahu soalan hidup rumah tangga orang lain. Toh, bukan urusanku kenapa aku mesti merisaukannya. Nyatanya Dito juga tenang-tenang saja, malah kini ia sering sekali membawa wanita pulang ke rumahnya.

Namun apa yang dilakukan Dito dengan para perempuan-perempuan itu?. Jika bercinta, mana mungkin bisa jika ia impoten. Makin pusing aku dibuatnya. Haruskah mempercayai lagi omongan dua sejoli yang akrab menggunjing, si Darto dan istrinya itu.

Setelah dipromosikan, kerjaanku tak menumpuk seperti biasanya. Hanya saja tingkat kesulitannya makin menjadi. Tapi tak apalah, setidaknya dengan kesibukan ini bisa meredam pikiranku perihal cerita yang memusingkan. Lebih baik begini ketimbang mengurusi urusan orang lain. Malam ini setidaknya pikiranku lebih tenang. Kembali mengerjakan proyek ditemani rokok dan latte, boleh kudapat dari mampir ke kafe favorit biasanya. Menikmati aroma hujan yang begitu memenangkan, namun membangkitkan rasa rindu dengan pacarku.

Dua hari telah berlalu dan tiba masanya cuti. Tepat pada hari raya Imlek. Masih seperti kegiatan biasanya ketika libur; segala yang berkaitan dengan kebersihan lagi. Hingga tepat pada jam sembilan pagi, Dito datang ke rumahku. Meminta bantuan tenagaku untuk membantunya memindahkan sebuah lemari yang sudah usang ke gudangnya. Lalu segera kumengikutinya, dan tampaklah di kamarnya. Lemari yang terlihat mulai rapuh.

Tugas kami selesai, Dito memberitahuku bahwa ada segelas latte yang ia simpan di dalam kulkas yang letaknya masih di dalam gudang juga. Ia bilang bahwa ia hendak buang air kecil sejenak. Ku iyakan saja, walau di hati terasa ada yang mengganjal. Bisa-bisanya ada sebuah almari pendingin di letakkan dalam gudang.

Perlahan kubuka almari pendingin itu. Mendadak tercium bau khas daging yang telah lama didinginkan. Keadaan benar-benar mengejutkan, ketika aku mendapati beberapa kepala yang telah terpisah dari tubuhnya terjejer rapih, layaknya sebuah koleksi. Seluruh tubuhku terasa lemas, pucat pasi. Melihat kepala-kepala berlumur darah yang telah beku dengan menunjukkan ekspresi yang begitu mengenaskan. Seluruh ketakutanku benar-benar mencapai puncaknya ketika terkumpul pada satu titik; lutut. Membuatku tak mampu bergerak sedikit pun. Namun pada satu titik, ada sebuah kepala yang menampilkan sebuah wajah tak lagi asing bagiku; wajah Aisyah,  istri Dito. Setelah itu kutahu bahwa Aisyah ternyata dibunuh. Bukan dipulangkan kepada orang tuanya.


Jadi yang selama ini Dito lakukan, mencangkul tak jelas ketika malam pekat tiba tak lain untuk menanam tubuh yang sudah tanggal kepalanya. Lalu terasa sebuah pukulan telak bersarang di tengkukku. Hanya sebatas itu yang kutahu.

a guy create content in the form of writing, images or videos that will be uploaded on social media for entertain and inspires of many people.

Nothing else is fun other than designing. So, digital content creator is my passion.

0 comments:

Post a Comment

Contact Us

Phone :

+628**********

Address :

Sukarame, Bandar Lampung, Lampung, Indonesia

Email :

novabillshcatastrophe@gmail.com