Thursday, September 26, 2019

Bidadari Tak Kasat Mata
Bidadari Ural


Sebuah penyakit tidaklah mungkin serta merta datang tanpa adanya sebuah alasan. Bisa saja ia datang dari cara pola hidup yang salah contohnya. Lebih buruk lagi ketika penyakit itu dapat diwariskan. Siapa gerangan yang ingin diganjar sakit, kawan?.

Bagi mereka para kambing dungu kere, kesehatan dinomor sekiankan. Yang jadi prioritas bagi mereka adalah memiliki uang sebanyak-banyaknya. Seolah uang adalah nyawa dari kehidupan itu sendiri. Kau pikir kita sedang berbicara tentang masuk angin yang bila kau belikan obat dari toko kelontong terdekat rumahmu bisa sembuh. Bagaimana jika kasusnya seperti yang sedang kuhadapi saat ini. Penyakit yang sedikitpun tak bisa dilihat dengan mata. Kau belikan obat di apotek sebanyak apapun aku takkan sembuh. Overdosis baru aku percaya.

Skizofrenia, sebuah penyakit psikis yang sedang aku hadapi. Aku tak pernah menyangkal kehadiran penyakit yang satu ini. Karena sejatinya aku juga akan segera mewarisi apa yang pernah diidap oleh ayahku. Karena penyakit ini adalah penyakit genetik.

Saat ayah sedang kambuh, ayah berhalusinasi. Bahkan saat itu nyaris ayah menggorok leherku. Namun Tuhan tidak menakdirkanku untuk mati. Tuhan punya skenario lain. Yang akhirnya pun berujung menyedihkan.

Aku sadar, bahwa tak ada orang tua manapun yang ingin mewariskan penyakit untuk anaknya. Mereka selalu memberikan apa yang terbaik untuk keberlangsungan hidup buah hatinya. Dan aku melihat dengan mata kepalaku sendiri bagaimana tertekannya ayah saat itu. Iapun tersadar dari halusinasinya. Sedangkan leher yang tengah ia acungkan pisau ternyata leher putranya sendiri. Di saat itu juga ayah langsung terisak bukan main. Tak henti-hentinya ia meminta maaf padaku di sela Isak tangisnya.

Pada satu kesempatan aku bertemu dengan seorang gadis. Pertemuan kami tak lebih dari sekedar kebetulan. Kami bertemu di sebuah taman. Perjumpaan kami hanya sejenak, namun terasa membekas di benak. Singgah sebentar, sama-sama melepas lelah setelah seharian penuh berkendara. Namun destinasi dan kendaraan yang kami kemudikan berbeda. Aku sendiri dengan mobilku dan ia dengan lelakinya mengendarai sepeda motor.

Pertemuan bermula ketika aku tengah duduk tafakur, membengongkan apa saja yang kira-kira bisa dibengongkan. Lalu dua sejoli datang dari arah yang berlawanan. Mereka duduk tak jauh dari tempat aku menyemayamkan pantat. Merusak khusyuk lamunanku.

"Mas, asli penduduk sini?," Tanya si lelaki itu. "Bukan, saya dari pulau seberang. Hendak pulang kampung, melepas rindu untuk bertemu dengan orang tua" jawabku. "Wah, kebetulan sama kalau begitu. Saya juga sedang dalam perjalanan. Di sini hanya mampir untuk melepas lelah" ujar lelaki itu.

Di bawah rimbunnya pohon beringin obrolan kami mengalir deras. Dari sekedar basa-basi, lelaki itu; si Darma, kemudian memperkenalkan wanita yang ada di sebelahnya. Namanya Rani. Dari awal perjumpaan kami, parasnya benar-benar mampu mengusik hati.
 
Setelah dirasa cukup lama beristirahat, aku kemudian pamit untuk kembali melanjutkan perjalanan. Sebab aku sedang memburu waktu, agar dapat tiba di rumah sebelum petang datang menghadang.

Sepanjang aku melanjutkan perjalanan, wajah wanita itu terus saja terngiang di pikiranku. "Masa bodoh, ah. Kenapa juga aku harus peduli. Mau tunangan lah mau nikah lah terserah. Toh jika jodoh pasti aku akan dipertemukan dengan Rani lagi." Lenguhku pelan. Sesaat mataku memicing, lalu nampak jarum indikator bahan bakar telah menunjukkan warna merah. Tanda wajib singgah menuju pom bensin terdekat.

Perjalanan masih cukup panjang, sehingga pikiran untuk beristirahat sejenak lagi di pom bensin terasa tidak memungkinkan. Akhirnya, Kuputar beberapa lagu balada. Harapannya agar bisa mengurangi rasa lelahku dan kantukku. Sejurus ada sebuah sepeda motor yang sedang mencoba mendahuluiku. Setelah sempat memiringkan pandang tak salah lagi, mereka Darma dan Rani. Melajukan kendaraannya dengan lesat, nampak tergesa-gesa.

Namun nahas. Tiba-tiba muncul sebuah mobil yang berasal dari sebuah gang kecil yang berada tepat di kiri jalan. Dengan kecepatan tinggi, motor gede yang mereka kendarai menghantam hebat bagian samping mobil itu. Pemandangan mengerikan terekam oleh mataku. Tubuh Rani terpelanting, lalu disambut oleh sebuah tronton dari arah yang berlawanan. Dan setelah berhasil mendarat tubuh itu terlindas oleh sebuah truk bermuatan berat.

Saat itu yang bisa kulakukan hanyalah menatap nanar kejadian yang begitu memilukan. Melihat tubuh yang bersimbah darah tergeletak di tengah jalan. Kulihat Darma yang setengah sadar berusaha menghampiri tubuh Rani yang sudah tak beraturan lagi itu. Lalu tiba-tiba mataku menjadi basah. Rasa sesak memenuhi rongga dada. Terasa sudah tiada lagi pengharapan yang layak dalam kehidupan ini.

Selang kejadian itu, aku merasa hidupku tak lagi terasa bergairah. Kejadian itu benar-benar memicu depresi yang cukup berat di pikiranku. Yang kutahu dari pengamatan dari rekan kerjaku mengatakan bahwa akhir-akhir ini aku sering menghabiskan waktu dengan mulamun berlama-lama. Bahkan tingkat produktivitas kerjaku menurun drastis belakangan ini. Bahkan pernah aku sama sekali tidak memperhatikan presentasi yang dibawakan oleh bawahanku mengenai inovasi produk terbaru dalam rapat yang digelar lusa lalu. Dan aku tak lebih hanya memanjangkan bengong yang sedikitpun tak mengandung manfaat.

Puncak dari kejadian ini terjadi ketika aku pergi kesebuah kafe yang berada di pojok depan di mana tempatku bekerja. Kembali aku dipertemukan dengan seseorang memiliki wajah yang tak asing lagi bagi mataku. Wajah yang mampu kembali menggetarkan hati. Menyentuh lembut rasa, membangkitkan sebuah kerinduan yang sekian lama terkubur oleh ketidak mungkinan secara rasionalitas. Rani masih hidup!.

Pertemuan kami kembali ditakdirkan oleh tuhan. Ia tahu betapa menyedihkannya rasa sepi dan sendiri yang kupikul sejauh ini. Dengan kasih-Nya ia berikan padaku sebuah karunia, tanpa memandang seberapa banyak dosa yang telah ku hasilkan. Rasa syukur tak henti-hentinya ku panjatkan saat itu. Butiran bening kembali meleleh dari mataku.

Tak kusia-siakan pertemuan kali ini. Kuhampiri sosok yang sekian lama kurindukan itu. Bahagia meradang memenuhi isi hatiku. Yang kurasakan saat itu adalah menjadi satu-satunya manusia paling bahagia di kolong langit. Tak seorangpun mampu menggambarkan betapa senangnya aku ketika itu.
“Ran?,” panggilku kemudian ia menengok. Setelah melihat diriku, raut bingung mulai tergambar di wajahnya. “Maaf, mas siapa ya?”, tanyanya. “Aku isal, kita pernah bertemu ketika singgah di taman dalam perjalanan jauh bulan lalu” jelasku, sembari berharap ia masih mengingat itu.

“Oh, mas isal. kita pernah ngobrol di bawah pohon beringin itukan?. Gimana kabarnya mas sudah lama gak ketemu”, “Baik kok Ran, kamu?”, “”Alhamdulillah baik juga mas”,“”Lah si Darma, gimana kabarnya?” tanyaku penasaran. “Entah mas, kami sudah lama gak ketemu setelah kejadian yang lalu”. “Turut perihatin Ran mendengarnya”, “Gak masalah kok mas, lagian saya juga bersyukur masih di berikan keselamatan setelah kecelakan itu”, ungkapnya seraya menampakkan senyum yang membuat ku kembali tersentuh.

“Sekarang kau tinggal di kota ini?”, “ iya mas, sekalian cari pengalaman kerja”, “Tempat tinggal sudah ada?”, “Sudah mas, rencananya hari ini tata barang”. “Sebenarnya di rumahku ada kamar kosong, ya barangkali jika Rani berminat bisa tinggal di rumah saya. Lumayan bisa sedikit meminimalisir penggunaan uang bulanan”, “nggak lah mas, kesannya ngerepotin”. “Kalo memang merasa ngerepotin, saya nggak akan memberikan tumpangan gratis kok. Rani harus mengerjakan segala pekerjaan rumah tangga, seperti membuat sarapan sebelum bekerja contohnya” tawarku. “Nggak masalah nih mas”, “Kenapa harus dipermasalahkan jika ada opsi yang mudah, toh juga saya merasa terbantu kedepan”, “Oke, mas. Saya akan berunding dengan pemilik kos kalau begitu”.

Setelah negosiasi itu, akhirnya Rani memutuskan tinggal di rumahku. Hidup bersamanya membuatku lebih bergairah menjalani hidup. Kami kerap bercanda tawa, menikmati kopi ketika gerimis di malam musim penghujan, mendengar alunan gemercik rintik hujan bersama. Suara alarm pagi yang bising kini tergantikan oleh lembut suaranya. Bersamanya segala hal yang kujalani terasa lebih menyenangkan. Setiap detik kulalui terasa lebih berarti.

Di sepertiga malam, tak pernah luput ku panjatkan do’a. Berharap semoga kebersamaan kami adalah kebersamaan yang abadi. Bahkan setelah ajal menjemputpun semoga kami masih dipertemukan dalam surga yang sama. Dialah bidadari yang ingin kugenggam tangannya sampai akhir nanti. Semua pengharapan telah ku curahkan pada dirinya. Ketika kehilangan dirinya, diriku tak lebih sebatas gumpalan tanah tandus di musim kemarau panjang. Lumat menjadi serpihan debu tertiup oleh ganasnya arus angin kehidupan. Yang kutahu hanya satu bahwa aku rentan tanpanya.

Jam makan siang tiba. Bersama Aprilio, aku menuju ke kantin. Awalnya kami hanya sekedar berbincang santai, namun pada satu titik obrolan kami berubah menjadi obrolan yang tidak begitu menyenangkan, terutama bagiku. Ia berkata padaku bahwa beberapa pekan ini ia sering mendapatiku berbicara sendiri.

Dua minggu yang lalu, ia singgah di sebuah kafe. Tanpa sengaja ia mendapatiku tengah sibuk berbicara seorang diri namun seolah tampak berbincang bersama dengan seorang wanita. Walau kenyataannya aku sedang duduk sendirian. Kemudian ia mendesakku untuk menemui psikiater, segera berkonsultasi untuk memastikan kesehatan psikisku.

Tentu saja aku menepis semua yang dikatakan olehnya. Namun dia benar-benar menyudutkanku dengan melempari beberapa penjelasan mengenai detailnya. Dimulai dari pakaian yang kenakan, minuman yang kupesan, sampai waktu dimana aku beranjak meninggalkan kafe itu. Lalu ia juga menyuruhku untuk mengecek cctv di kafe itu jika memang aku masih tak percaya dengan apa yang telah dikatakannya.

Setelah terlibat obrolan yang membuatku penasaran itu, kamipun bergegas menuju ke sebuah kafe yang hampir setiap hari ku kunjungi bersama Rani. Kami langsung menuju kebagian pengawas bergegas mengecek cctv. Betapa terkejudnya aku mendapati diriku tengah sibuk berbicara dengan kursi yang kosong melompong tak ada tuan yang mendudukinya. Jantungku berdetak kencang, kejadian rumit seperti apalagi yang sedang kujalani ini.
Masih dalam keadaan tidak percaya segera aku menuju ke sebuah Rumah sakit terdekat di sekitar tempat kecelakaan mereka terjadi. Satu persatu rumah sakit kutanyakan. Di dada ini tersimpan rasa resah begitu luar biasa. Akankah kutemukan rumah sakit yang memiliki rekam medis terkait kecelakaan yang menimpa Rani, sedang aku tak tahu nama lengkapnya. Yang kuandalkan hanyalah tanggal dimana insiden itu terjadi. Namun pada akhirnya aku menemukan rumah sakit yang pernah menangani kasus insiden tersebut.
Aku bertanya kepada salah seorang petugas yang ada di rumah sakit itu. Perihal seseorang yang mengalami kecelakaan sekitar dua bulan lalu. Setelah memakan waktu yang cukup lama pegawai tersebut menemukan berkas rekaman medis yang ku maksud. Di berkas itu tercantum nama, jam serta lokasi yang begitu tepat dengan insiden yang terjadi kala itu. Dan yang membuatku depresi ketika aku mendapati pernyataan dari catatan medis tersebut yang mengungkapkan bahwa Rani telah meninggal.
Dianalogikan sebagai purnama, depresiku telah penuh seutuhnya. Tak ku sangka bila akan begini jadinya, mengidap sebuah penyakit yang benar-benar mengerikan. Menghasilkan delusi yang mampu menutup mataku hingga tak lagi mampu membedakan antara garis khayal dengan kenyataan.

Pikiranku menjadi kacau balau sekembali dari rumah sakit itu. Harapan untuk mempertahankan hidup tak lebih dari sekedar sebuah fiktif, mengingat penyakit yang ku idap ini. Rani yang selama ini ku temui hanyalah sosok wanita yang terbentuk oleh alam khayalku sendiri, demi menghapus rasa sepi. Catatan ini kutulis tepat sebelum kematianku. Di hadapanku telah melambai tali tambang sebesar telunjuk yang bersimpul bulat, benda yang tepat untuk memangkalkan leher. Bila kau menemukan catatan ini, mungkin jiwaku sudah tidak berada lagi di dunia dan tubuhku telah diurai oleh Bumi.

a guy create content in the form of writing, images or videos that will be uploaded on social media for entertain and inspires of many people.

Nothing else is fun other than designing. So, digital content creator is my passion.

0 comments:

Post a Comment

Contact Us

Phone :

+628**********

Address :

Sukarame, Bandar Lampung, Lampung, Indonesia

Email :

novabillshcatastrophe@gmail.com