Monday, September 9, 2019

Menunggu Purnama
Purnama

Setiap kali purnama tiba, yang kulakukan hanya menahan rasa sesak di dada. Isakku makin menjadi saat kutatap dengan dalam sendu cahaya purnama. Dari sebuah jendela ruang tengah kuperhatikan bulat bentuk purnama. Betapa sempurna bulatnya, sesempurna wajahnya. Cahaya itu mampu melepas lelahku setelah bekerja. Apakah kau tahu bila aku sempat terisak juga di sepanjang perjalanan pulang. Karena di dalam purnama itu terselip sebuah cerita. Purnama itu tak kunjung henti mengingatkanku pada seorang wanita. Sosok yang pernah kujumpa di jembatan kecil penghubung antar dua daerah. Jembatan itu tak pernah luput terekam oleh mata, baik berangkat maupun pulang bekerja. Karena jembatan itu merupakan salah satu bagian dari rute menuju rumahku.

Pekerjaan selalu menuntut ku untuk pulang setelah petang. Tepatnya ketika kala telah berubah menjadi legam. Ada yang mengherankan perihal jembatan itu. Sejatinya tempat itu tak pernah sepi. Kendaraan tak pernah surut berlalu lalang dimulai dari fajar hingga senja kembali ke peraduannya. Namun tepat setelah senja lesap di ufuk barat, jembatan itu sepi kembali. Hening. Tak satu kendaraan pun yang sudi melintas diatas jembatan itu. Itulah yang membuatku sempat berpikir keras. Lantas apa gerangan memunculkan fenomena ini.

Ini malam yang kesekian kalinya aku pulang bekerja. Tepat pada malam yang menghadirkan indah purnama. Fokus ku berjalan, disiram oleh cahaya purnama yang sibuk bersaing dengan cahaya lampu penerang jalan. Bintang pun semarak bertebaran menghias tanpa rasa iri sedikitpun dengan purnama. Meski cahayanya tak seterang rembulan, namun mereka mampu menghasilkan cahayanya sendiri.



Tampak di atas jembatan itu, berdiri seorang wanita. Ia biarkan tubuhnya diterpa sinar purnama. Menghasilkan bayangan yang nampak begitu memilukan. Entah sedang bersedih atau apa, berulang kali ia terlihat menyeka di sekitar matanya. Sebenarnya bukan gayaku peduli dengan kesusahan orang asing. Namun terasa ada sesuatu yang memaksaku untuk menghampirinya. Bukan masalah. Toh diriku juga sedang merasa bosan, sibuk bekerja tetapi tidak tahu untuk siapa nafkah ini ku limpahkan. Kesepian juga. Sepanjang aku menginjakkan kaki di bumi belum pernah yang namanya pacaran. Benar-benar konsep hidup yang membosankan.



Perlahan aku menghampirinya. Merasa ada yang sedang mendatanginya, segera wanita itu mengusaikan tangisnya. "Ah, betapa bagusnya terang bulan ini!," Kataku dengan nada sedikit tinggi. "Sedang apa mbak disini?," Tanyaku ingin tahu. Namun dia memilih tetap membisu. Antara takut dengan malu, menurutku. "Sepulang bekerja saya selalu lewat sini dan kebetulan melihat mbak, maaf bila telah mengganggu." Lalu aku kembali meneruskan langkahku menuju rumah. Tiba-tiba ia meraih tanganku, kembali meneteskan air mata. "Saya minta tolong," ungkapnya, memohon. "Saya tidak tahu apa yang terjadi, ingatan saya mendadak hilang. Saya tak tahu kemana jalan pulang". Kini giliranku menjadi takut. Kalimat yang mendadak keluar dari mulutnya terdengar seperti motif kriminal yang sedang marak akhir-akhir ini. "Oh, jika berkenan mbak bisa ikut tinggal di rumah saya," tawarku. Ia hanya bisa mengangguk lemah. 


Sepanjang perjalanan kami berdua hanya diam. Dia sibuk dengan rasa bingungnya dan aku sibuk memikirkan sebuah obrolan yang membuatnya tertarik untuk menanggapinya. Saking kerasnya mencari obrolan yang tepat, tidak terasa bahwa kami telah tiba di pelataran rumah.

Selayaknya tuan rumah yang baik kupersilahkan ia duduk. Kubuatkan secangkir kopi dan kutawarkan untuk makan. Namun dia menolak. Ia berkata bahwa yang ia butuhkan adalah sinar rembulan untuk menjaga keberlangsungan hidupnya. Yang ada di benakku saat itu antara harus percaya atau tidak. Kata-katanya membuatku bergidik. 

Namun perihal yang ia katakan memang nyata adanya. Berminggu-minggu kami tinggal bersama, tak pernah kulihat ia memakan makanan yang ada di rumah. Yang kulakukan hanya menemaninya ketika bulan memancarkan sinarnya. Ia terlihat lemas ketika tiba tanggal satu bulan sampai ke empat belas tanggal rembulan. Di hari itu bulan tak memancarkan cahayanya. Ketika tanggal itu tiba yang kurasakan hanya cemas. Menggenggam tangannya, saat tubuhnya terkulai lemas di atas tempat tidur. Seraya berdoa, semoga ia mampu bertahan sampai bulan benar-benar kembali bersinar terang.

Seperti sebuah pepatah, kita bisa mencinta ala biasa. Itulah yang terjadi di antara kami. Dia selalu membangunkanku ketika fajar tiba, membuatkanku sarapan sebelum pergi bekerja dan hal yang berbau keibu-ibuan lainnya ia kerjakan. Di situlah kemudian tumbuh rasa nyaman. Begitupun ia. Merasa aman, kerap ku ajak bercanda, menemaninya di saat ia tak berdaya, membuatnya merasa nyaman juga. Yang dulunya kami tidur di kamar berbeda kini tidur di atas ranjang yang sama. Walau terkadang pada satu titik aku merasakan cemas, bila tiba-tiba ingatannya kembali. lebih buruknya lagi ternyata dia telah memiliki suami. Pergi kembali meninggalkanku tuk sendiri. Yang kuinginkan hanya ia agar tetap di sini.

Namun semua tak sejalan dengan garis dugaanku. Itu terjadi pada suatu malam, ketika purnama menampilkan bentuk bulat seutuhnya dan indah cahaya yang ditawarkannya. Aku bersamanya. Menuju ke sebuah jembatan kecil berada, tempat dahulu ku dipertemukan dengannya. Berdua menikmati keindahan langit kala itu. Purnama perlahan tampak terkikis. Entahlah, aku tak terlalu yakin, namun sepertinya akan terjadi gerhana bulan. Kami, berdua terbungkam. Terpana melihat rembulan menit demi menit, yang semula bulat sempurna menjadi terkikis bagian sisinya. Pada puncaknya purnama itu berubah warna menjadi merah. Saat itulah kusadari bila itu adalah gerhana bulan total.

Aku terlarut menikmati warna merah kejingga-jinggaan yang ditawarkannya. "Pemandangan yang sangat luar biasa, bukan?,", "aku tak tahu bila malam ini akan terjadi gerhana." Ucapku. Namun hanya keheningan yang ia berikan atas perkataanku. Lalu aku mencoba menoleh ke arahnya. Betapa tercengangnya aku. Mendapatinya yang sedang  memandangku dalam diam. Dari matanya mengalir lembut butiran air yang membasahi cantik wajahnya. Tubuhnya bersinar merah layaknya gerhana yang kulihat. Detik demi detik tubuhnya kian meluruh. Menjadi serpihan yang terbawa angin malam. Berevolusi menjadi kunang-kunang, menghiasi kelamnya malam. Seluruh isi dadaku amat sesak saat itu. Tubuhku tak berdaya, lututku terkulai lemas. Air mataku mulai mengalir mengikuti kontur pipiku. Terisak hebat, sampai tulang rusukku terasa sengal.

Sepeninggal dirinya yang kutahu hanya satu. Tiada pernah jemu aku menunggu purnama sendu. Tatkala purnama tiba, aku akan lekas menuju jembatan kecil itu. Seraya berharap bisa menjumpanya kembali. Dan selamanya akan tetap begini. Walau sebenarnya selalu terbesit pertanyaan jauh dari dalam hati; "Pada purnama mana lagi ia akan kembali menemuiku di sini". Tepat di atas jembatan kecil yang penuh kenangan ini.

a guy create content in the form of writing, images or videos that will be uploaded on social media for entertain and inspires of many people.

Nothing else is fun other than designing. So, digital content creator is my passion.

5 comments:

  1. Sibuk bekerja tapi tidak tau untuk siapa nafkah ini dilimpahkan.. Kata-kata bagus tuh, kayaknya masih jomblo kah??

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hhihi sepertinya begitu gan.... Sakitt beud nyari duit mulu tapi ga tau duitnya buat siapa.... Nasib jomblo 😭 #peace ✌

      Delete
  2. alangkah indah sekali melihat purnama dengan sang pujaan hati. apalgi kalau pujaan hati sudah halal .. hehe

    ReplyDelete
  3. Tulisannya tersusun rapi bagus.

    ReplyDelete
  4. Suka sekali sama kalimat, "Pada purnama mana lagi dia akan menemuiku di sini."

    Menunggu memanglah bukan sebuah hal pasti, tapi sepertinya hati memilih menanti.

    ReplyDelete

Contact Us

Phone :

+628**********

Address :

Sukarame, Bandar Lampung, Lampung, Indonesia

Email :

novabillshcatastrophe@gmail.com