Saturday, October 19, 2019

Diorama Taman Duka
Taman Duka

Hujan kembali semarak, mengguyur pepohonan yang hampir kehilangan seluruh daunnya. Riuh suaranya rintiknya menghantam sebuah atap. Dan malam ini aku sedang berada di sebuah halte. Menunggu bus Transjakarta tiba, bersama beberapa manusia lainnya. Mereka sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Ada yang fokus menatap layar ponselnya, ada yang diam termenung melihat rintik-rintik beradu dengan aspal jalanan dan ada yang tengah asyik berbincang dengan karibnya. Tak ada satupun di antara mereka yang ku kenal. Hanya ada sebuah opsi yang dapat ku lakukan; duduk resah tanpa ada satupun kata yang terucap.

Dari arah yang berlawanan walau tampak samar-samar terhalang oleh rintik hujan, aku melihat sosok gadis. Langkahnya sayup, ditemani dengan tongkat yang tergenggam di tangan kanannya. Terayun kesana-kemari. Meraba udara di bawah derasnya rintik tak berdosa. Mendadak ia terjatuh. Namun tak ada satu manusiapun di halte yang peduli dengan keadaannya. Aku masih menatapnya tajam, di kepung oleh rasa ragu untuk menolongnya.

Sejurus nuraniku terusik dengan pemandangan itu. Memaksa tubuhku berlari menerjang dan menyibak rerintikan hujan. Menghampiri tubuh lemahnya itu. Perlahan kusambut dan ku genggam tangan lembutnya, berusaha membantunya tuk berdiri. Menuntun langkahnya agar lekas berteduh. Dan mereka yang semula acuh, kini pandangan mereka terpaut menonton aksiku. Seolah ini adalah tontonan yang lebih menarik ketimbang sebuah drama yang pernah terekam oleh mata mereka. Dari sinilah awal kisah perjumpaan kami.

Pada suatu petang aku mampir ke sebuah taman. Berharap dapat melepas lelah setelah kurang lebih sembilan jam berada di kantor. Langkahku terhenti sejenak. Dari arah yang berlawanan aku melihat seorang gadis yang kemarin malam ku tolong. Aku masih ingat wajah itu, tahi lalat kecil berada tepat di sudut bawah mata kanannya. Di tambah lesung pipi kirinya yang selalu tampak meski ia tak sedang tersenyum. Di bawah pohon beringin ia duduk membisu, seolah menatap udara dengan penglihatannya yang hampa. Lalu aku menghampirinya. Membantunya mengusir kesendirian.

"Apa yang kau lakukan di sini?, Menatap senja?" Ledekku.

"Tidak. Aku hanya ingin menikmati udara sore hari" jawabnya.

"Kau pikir udara sore hari menyehatkan?, Jika memang berniat menikmati udara, ku sarankan kau melakukannya di pagi hari" timpalku.

"Tentu saja", "tapi suaramu terdengar tidak asing?," tanyanya penasaran.

"Ah, kau tahu rupanya. Ya, aku yang kemarin malam membantumu. Apa kau tidak takut padaku?, sekarang aku sedang mencoba membuntutimu" jawabku.

"Apa yang perlu aku takutkan. Meski buta, aku tahu kau orang baik,"

"Cih, leluconmu buruk. Kau saja bahkan tidak tahu warna senja. Tiba-tiba kau menyebutku orang baik"

"Namun, setidaknya aku tahu warna kehidupan" ia berkata dengan raut yang datar.

"Berhentilah membual sebelum aku benar-benar membencimu, pembohong".

Ia kembali terdiam. Namun senyum kecil tergaris di wajahnya. Menampilkan lesung pipinya yang begitu menawan. Sedang aku tak paham dengan apa yang terlintas di pikirannya.

Selanjutnya setiap hari kami bertemu. Masih dengan taman dan di bawah pohon yang sama kami berbagi kisah. Saling menyandarkan keluh kesah satu sama lain. Taman itu seolah tempat yang tepat bagi kami untuk berjanji temu. Dari sekian kali pertemuan kami, semakin banyak yang kutahu tentangnya.

Namanya Dinda Purnamasari. Ia lahir di malam hari, tepat pada puncak sempurna bulatnya purnama. Ia tak memiliki kakak maupun adik. Ia juga tak serta-merta lahir dalam keadaan menyedihkan seperti itu. Bahkan sebelumnya ia tahu renta warna senja, merah warna mawar dan sian warna laut. Pada usia lima belas tahun kedua orang tuanya meninggal karena sebuah penyakit. Lanjut menempuh pendidikan hingga selesai strata satu yang dibiayai oleh bibinya. Ia pernah bekerja di sebuah perusahaan jurnalistik. Sebuah kecelakaan membuat ia kehilangan penglihatan serta kekasihnya. Kini dia memiliki usaha kecil yang dijalankan temannya buah hasil dari usahanya menabung dulu. Dan masih ada beberapa hal lagi yang kutahu tentangnya.

Seperti hari-hari biasanya, aku kembali menjumpainya dikala senja tiba. Menenteng kantong plastik yang berisi camilan, kudapat dari sebuah minimarket sebelum menemuinya. Menghabiskan waktu sekedar berbincang hingga senja lesap kembali ke peraduannya. Pada suatu titik aku merasa nyaman saat ini bersama dengannya. Berharap waktu terhenti, agar tetap seperti ini; melihat senyum tergambar di wajah indahnya.

"Sejauh aku bertemu dengan wanita, hanya denganmu aku menemukan sisi nyaman" seketika kalimat itu keluar dari mulutku. Dia kemudian mebisu. Lalu ada sesuatu yang meleh membasahi pipinya. Bersamaan dengan itu, senyum kembali melintas untuk yang kesekian kali di wajahnya. Yang kulakukan saat itu hanya lekas mengeluarkan sapu tangan dari saku bajuku. Menyeka air matanya sembari menatap tajam kedua bola matanya yang tampak kosong itu. Sejenak angin berembus lirih, memperkuat kesan romansa bercampur sendu pada saat itu.

Semenjak bertemu dengannya, segala aktivitasku terasa lebih hidup. Menekan rasa pesimis dan mulai menggantinya dengan aura yang lebih positif. Aku bersyukur karena Tuhan mempertemukan aku dengannya. Ia mengajarkan arti penting mensyukuri hidup, diciptakan sempurna tanpa kekurangan suatu apapun. Memupuk rasa tanggung jawab agar tidak selalu lari dari kenyataan hidup yang serba- serbi pasang surut. Sampai akhirnya aku mendapatkan sesuatu yang sekian lama aku idamkan; promosi jabatan.

Usai bekerja aku langsung berlari menuju taman tempat biasa kami berjumpa. Menyampaikan rasa terima kasih karena telah hadir dalam kehidupanku, memotivasi ku, serta memulihkan semangat hidupku yang hampir redup ditelan oleh rasa takut dan depresi. Yang ku inginkan saat ini adalah memeluk erat tubuhnya, menggenggam erat tangan lembutnya, menyandarkan bahagiaku di pundaknya. Hanya dengannya aku ingin membagikan tangis bahagia.

Namun kenyataan berkata sebaliknya. Tepat di bawah pohon beringin yang rindang itu tak kutemui tubuhnya. Awalnya ku kira ia hanya berpindah duduk ke tempat yang lebih baik. Namun ku cari ke segala penjuru taman pun tak kutemukan sosoknya. Saat itu hanya rasa kehilangan yang membuat pikiranku kalut. Seisi dada dipenuhi oleh rasa cemas hingga terasa amat sesak. Keringat dingin mulai muncul menggambarkan ketakutanku. Sampai tak terasa butiran bening meleleh dari mataku.

Pikiranku kacau dan rasaku keruh. Diantara berbagai macam opsi, tubuhku reflek menuju ke sebuah bar untuk membuang kesedihan. Berharap beberapa gelas dari botol-botol riang itu mampu menghanyutkanku dalam sebuah tawa yang berujung. Benar-benar dapat melupakan yang barusan terjadi meski hanya sejenak.

Segelas bir mulai membasahi kerongkonganku, lantas kejadian tak terduga memukul telak dadaku tak terelakkan. Ku lihat wajah itu, wajah yang setiap senja kutatap dalam-dalam. Wajah yang selalu mampu membuatku tenang. Tangannya digenggam, jalannya dibimbing oleh seorang lelaki usia setengah abad-an dengan setelan jas melekat pada tubuh gendutnya. Akan tetapi masih ada rasa ragu menggerayangi prasangkaku; apakah dia benar gadis yang setiap senja ku datangi itu.

"Din?," Panggilku mencoba untuk memastikan. Lalu wajah dengan mata yang begitu hampa itu mulai menampakkan rasa terkejutnya. Saat itu rasaku hancur. Aku merasa dibohongi. Dan aku mulai sadar bahwa kami tak sedekat yang kupikirkan untuk saling mebagi kisah hidup satu sama lain. Dia hanya membagikan kisah bualan. Lalu bagaimana dengan kisah hidupku yang terlanjur ku bagikan dengannya. Kisah tentang bagaimana aku tidak mempercayai adanya sebuah cinta yang hakiki. Kisah tentang bagaimana aku di permainkan oleh seorang wanita yang membuatku phobia selama ini. Ku kira kehadirannya menghapuskan rasa phobia itu. Dan kenyataan berbanding terbalik dengan apa yang telah ku persepsikan.

Berlari sekencang mungkin. Meninggalkan tempat dipenuhi oleh hingar-bingar kemaksiatan dan aroma alkohol yang menyengat hidung. Tangis yang sebelumnya terbendung, ku tumpahkan di sepanjang jalan sembari berlari. Rongga dadaku sesak bila harus menahan rasa tangis berlama-lama. Tentangnya saat ini bagiku hanya bentuk kebohongan dunia dari sekian bentuk kebohongan-kebohongan lain yang telah ku lalui. Aku tak perlu menyangkal bila dunia itu sesuatu yang fana. Karena sepanjang ku berjalan di muka bumi selalu saja tersakiti.

Malam pun tiba. Dengan setelan jas lengkap, kembali aku menengok taman itu. Jujur saja, sebenarnya tak hendak aku menjenguk taman sialan itu. Tapi tak ada salahnya bila ku coba kembali mengenang masa itu. Toh aku tak tahu kapan aku bisa kembali menemuinya. Menatap lekat wajahnya yang begitu menenangkan hati. Berusaha merekam kebersamaan dengannya dan menjadikannya sebagai piringan hitam yang bisa diputar sewaktu-waktu ketika mau. Sebuah kenangan yang menjadi saksi atas berlalunya sebuah waktu.

Sesampainya di taman itu ada sesuatu yang mengusik perhatianku. Tepat di bawah pohon beringin yang selalu jadi tempat bernaungku, tampak ramai dikepung oleh segerombol orang. Dengan perasaan yang tak keruan ku sambangi kerumunan itu. Alangkah terkejutnya aku mendapati tubuh yang melambai-lambai tergantung pada sebuah pohon beringin. Semula aku takut melihat wajah tubuh yang tergantung itu. Namun kuputuskan untuk memberanikan diri 'tuk melihat wajahnya.

Tubuhku terkulai lemas. Lututku tak lagi mampu menopang badan agar tetap tegak. Jantungku seolah terhenti sejenak. Sesak sekali dada ini kurasa. Mataku masih terpaku pada wajah di tubuh tak bernyawa itu. Ya, tak salah lagi wajah itu. Wajah yang dulu mampu menghadirkan sejuta kebahagiaan bagiku. Lalu ada secarik kertas yang terdapat sebuah tulisan pada permukaannya. "Maaf bila ada kebohongan yang kubagikan padamu".

Lantas aku tersadar. Tak peduli entah itu kebohongan atau kebenaran, bagiku sebuah anugerah karena telah mau membagikannya denganku. Sama-sama mengingat kenangan dan menikmati kenangan itu, meski berada di dimensi yang berbeda. Kubiarkan tubuh dan pikiranku terbenam dalam duka demi menikmati kenangan itu. Karena bagiku kenangan itu adalah suatu yang terlalu besar untuk diberikan.

a guy create content in the form of writing, images or videos that will be uploaded on social media for entertain and inspires of many people.

Nothing else is fun other than designing. So, digital content creator is my passion.

5 comments:

  1. Alur cerita yang begitu membawa ke perasaan pembacanya sehingga terhanyut di dalamnya. Namun,sayang.. pada ending cerita,tokoh utama harus berpisah dalam 2 dimensi,huhuhu :(

    ReplyDelete
  2. Anjayyyy seruuu banget min ceritanya.... Berasa cerita di film-film romance jepang yg penuh dengan kejutan dan aksi jeroik si pemeran utama... Lanjutkan min nulisnya... I like your writing and your story 😍

    ReplyDelete
  3. wah, mantep nih ceritanya, bikin tegang ya, keren, tulisannya pun enak di baca

    ReplyDelete
  4. Bagus, nih, alurnya dan diksi yang dipakai. Dekat dengan pembaca, tapi tetap ngena dan bisa diambil manfaat dari ceritanya. Mungkin, tinggal perbaiki penggunaan preposisinya, Kak.

    ReplyDelete
  5. Saya menikmati tiap alur ceritanya, bagus min tulisannya mantap juga gaya bahasanya

    ReplyDelete

Contact Us

Phone :

+628**********

Address :

Sukarame, Bandar Lampung, Lampung, Indonesia

Email :

novabillshcatastrophe@gmail.com